Seribu Peta Negeri Amedeo | Part 2


Cerita sebelumnya Seribu Peta Negeri Amedeo | Part 1


"Angela...Angela!" teriak kakek di teras depan rumah sembari membawa secangkir teh manis hangat yang masih mengepul.
"Ada apa kek?" tanyaku dari kejauhan.
"Sedang apa kau disana? Ayo masuklah ke dalam, sudah larut malam ini!" perintah kakek dengan suara yang sudah tidak terlalu jelas di dengar.
Aku berlari pelan menuju arah kakek sembari membawa sebuah ember kecil dan bola-bola kristal di tangan kiriku.

Kakek memintaku untuk menyiapkan makan malam. Aku hangatkan makanan seadanya yang kumasak sejak tadi pagi. Aku tuang sup jagung kesukaan kakek ke dalam sebuah mangkok kaca. Sesaat saat aku sedang menuangkan sup, aku melihat cahaya kilat berwarna merah yang sesekali terlihat dibalik kaca yang terpasang tepat di depan kamarku. Aku kira itu lampu mobil tetangga sebelah rumahku. Tapi semakin aku perhatikan, cahaya merah yang kulihat semakin menyilaukan mata. Aku letakkan panci berisi sup yang masih panas itu ke atas kompor. Aku berjalan pelan, sangat pelan sampai-sampai sandal karetku tidak terdengar. Mungkin kalau kakekku melihat bayanganku berjalan sepelan itu, ia akan mengira ada maling mengendap-endap ke dalam rumah kami.

Perlahan dan pelan, aku berjalan mendekati dinding depan kamar. Jantungku berdegup dengan kencangnya, pikiranku sudah tidak karuan. Aku membayangkan ada pencuri yang sedang membongkar kamarku dan mencari-cari benda berharga. Walau sesaat aku teringat bahwa di kamarku yang tidak terlalu besar itu hanya terdapat sebuah lemari tua berwarna coklat, rak boneka 4 tingkat buatan kakek, sebuah ranjang besi dengan seprai berwarna ungu tua, sebuah meja belajar dan kursi kayu yang sudah usang.

Langkah kakiku semakin mendekat tepat di depan pintu kamar yang berhadapan dengan kaca yang terpasang depan pintu kamarku. Sinar merah itu masih saja terus mengeluarkan kilatnya yang menyilaukan mata. Aku siapkan seluruh keberanianku. Dan sesaat saat aku akan masuk ke dalam kamarku sendiri, sebuah pot bunga plastik yang tergeletak indah di sudut depan kamar tiba-tiba terjatuh dan buyar sudah konsentrasiku untuk menyergap maling yang berada di dalam kamarku. Tapi aku tak gentar, aku langsung saja masuk dan melempar tatapan tajamku ke setiap sudut kamarku hingga ke kolong tempat tidur. Tapi tidak kutemukan seorang pun di dalam. Tetapi sesaat kemudian mataku memicing pertanda melihat sesuatu dibalik selimut ungu muda dan bergerak-gerak perlahan. Secepat kilat aku berjalan ke arah ranjangku dan menyibakkan selimutku. Sesaat setelah aku membuka selimut itu ternyata yang kutemukan adalah seekor kucing hitam berbulu lebat dengan mata tajamnya berwarna... tunggu. Apa aku tidak salah lihat. Mata kucing itu itu berwarna merah. Setahuku warna mata kucing kebanyakan kalau tidak biru, kuning, coklat atau abu-abu. Tapi kucing itu lucu juga pikirku. Manis. Aku pun bergegas mendekat ke arah tempat tidurku. Aku usap bulu lebatnya, dan nampak terlihat ia senang dimanja. Ekornya bergoyang-goyang, matanya tajam mentapku seperti ia sedang melihatku dan ingin berkenalan denganku. Tapi darimana dia berasal? Darimana dia bisa masuk kamarku?

Kulihat sekeliling jendela kamarku yang sudah kututup rapat sejak tadi sore. Tidak ada satupun jendela yang tidak kututup. Ahh..mungkin saja kucing ini sudah masuk kamarku sejak siang hari, tapi ia masih bersembunyi di kolong tempat tidurku. Jadi aku tidak mengetahuinya. Tapi...cahaya kilat berwarna merah kilat yang keluar dari dalam kamarku, berasal darimana ya? Tanyaku dalam hati. Apa mungkin seperti dugaanku sebelumnya, itu lampu mobil Desta tetangga baruku itu. Hmm..sudahlah pikirku. Yang penting sekarang aku punya peliharaan baru yang entah datangnya darimana. Kuharap kakek mengijinkanku untuk memeliharanya. Chiko. Ya, Chiko! Kuberi kucing hitam itu dengan nama Chiko.

Sudah 1 bulan berlalu, tapi musim panas masih menyambut setiap hariku. Matahari yang muncul dengan teriknya memaksaku untuk menggunakan payung setiap kali kakek menyuruhku pergi ke rumah Tante Sabrina mengembalikan surat kabar harian setiap harinya. Aku sempat protes pada kakek, mengapa tidak berlangganan saja. Jawaban kakek masih tetap sama sejak setahun yang lalu. Hemat! Agar uang untuk berlangganan koran bisa kami alokasikan untuk membeli makanan kami sehari-hari.

Kakek hanyalah seorang pensiunan pegawai kereta api di kota tempat kami tinggal, jadi untuk memenuhi kebutuhan kami tiap bulan, kami harus mengirit. Bahkan saking iritnya, aku sampai tidak bisa jajan macam-macam seperti teman-temanku di sekolahan. Tapi walau begitu, aku tidak mengeluh, karena aku percaya, tidak ada mimpi yang tidak mungkin terwujud di dunia ini. Suatu hari nanti, aku akan menjadi seorang gadis terkaya di kota kecil ini.

Kali ini dengan penuh senyum yang merekah, aku berlari riang sembari membawa buku kecil dengan tulisan namaku di depan sampulnya yang bila terkena air, maka warna buku itu akan berubah-ubah.

Sesampainya aku di teras rumah, aku berteriak girang memanggil-manggil kakek Sam. Aku masuki setiap kamar dalam rumah tua itu dengan niat memperlihatkan isi buku kecil yang kubawa ini. Satu demi satu aku masuk ke setiap kamar, tapi sama sekali tidak kudapatkan sosok kakek Sam dalam rumah. Hingga saat aku sudah sampai di kamar belakang dekat dengan kebun kakekaku mencium aroma seperti kentang yang dibakar berpadu dengan harum aroma bunga mawar biru. Aku resapi wangi yang sudah menyebar di ruangan tempat aku berdiri. Dan tiba-tiba terdengar teriakan seorang lelaki yang berlari mendekat ke ruang tempat aku berdiri saat ini. Badanku gemetar, aku coba bersembunyi di bawah laci lemari perkakas dapur. Dan seketika saja suara lelaki yang tadi kudengar itu makin mendekat memasuki ruang ini.
''Angela...angela!''
Spontan aku langsung berdiri dan melihat siapakah gerangan yang memangilku. Ternyata Andrea yang sudah kembali dari perjalanannya. Aku mengenalnya dari kalung bergambar lingkaran yang ditengahnya terdapat perpaduan gambar burung elang dan sebuah pedang. Kalung pemberianku saat melakukan perjalanan itu. Tapi....tapi...ia berubah! Ia berubah. Kulit putihnya lebih pucat dari sebelumnya, rambutnya yang awalnya berwarna pirang kecoklatan sekarang berganti dengan warna abu-abu gelap. Pakaian yang ia kenakan tidak sama dengan pakaian yang ia kenakan saat melakukan perjalanan bersamaku. Kini ia mengenakan pakaian seperti jaket panjang melebihi lutut yang terbuat dari bahan kulit berwarna hitam. Sinar matanya berwarna merah gelap dengan bola mata yang memicing seperti mata kucing.

Kami pun saling berpandangan. Dan ia seketika mengenaliku karena melihat kalung bergambar burung merak dengan tulisan huruf 'A' di tengahnya. Aku dan Andrea saling mendekat, seribu pertanyaan meloncat di benak kami masing-masing.

''Apa yang terjadi denganmu?'' tanyaku perlahan.
''Aku sudah kembali. Perjalanan itu...perjalanan itu membuatku berubah seperti ini'' jelasnya tanpa berkedip memandangku.
''Mengapa bisa begitu?'' tanyaku
''Ceritanya panjang, yang pasti...aku sudah menemukan jejak dimana Ayah dan Ibumu berada''. Jawabnya.

Sesaat aku terdiam. Terangnya langit diluar rumah seperti semakin menyilaukan mataku saja. Aku tatap mata Andrea lekat-lekat. Ia tidak bersuara apapun, hanya terdengar langkah kaki kami masing-masing yang saling mendekat perlahan. Tiba-tiba suara kakek Sam terdengar tidak jauh dari ruangan kami. Suara seperti mesin potong rumput menemani teriakan kakek Sam yang memanggilku berulang kali.
 Andrea terlihat nampak panik dan segera menyuruhku untuk lekas keluar rumah menyusul kakek yang memanggilku. Aku seperti tak bisa menolak perintahnya. Seketika aku bergegas membuka pintu belakang dan berlari ke arah kakek memanggil. Dan tanpa kusadari buku kecil milikku aku tinggalkan di meja dekat laci lemari pisau.

To be continued

0 Comments

Hi there, thanks so much for taking the time to comment.
If you have a question, I will respond as soon as I can.

Dont be afraid to shoot me an email! If you have a blog, I will pop on by :)