| Part 1 |
21 September 3010
Saat itu cuaca di luar sangat dingin. Aku memaksakan diri untuk
berlari dengan kencangnya seperti menembus angin malam yang menusuk sekujur
tubuhku hingga tulang-tulangku terasa beku sulit untuk digerakkan. Otakku
berputar dengan kencangnya seperti jam waktu yang terus saja berjalan tanpa
henti. Semua memori tentangnya, tentang Ayah, Ibu, Arga, dan diriku
sendiri terlihat di depanku seperti sebuah piringan hitam yang terputar di
depan layar sebuah televisi.
Kala itu tepat 16 tahun silam aku dilahirkan. Masih jelas teringat
dalam memori otakku, aku mendengar tangisan keras seorang bayi mungil yang
dilahirkan dibalik semak-semak tinggi di saat bulan purnama muncul di kesunyian
langit malam. Suara lolongan serigala memecah keheningan malam. Saat pertama aku
membuka mata, hanya dua sosok yang kulihat jelas di depan pandangan mataku.
Sesosok wanita berparas putih pucat dengan mata birunya yang bening sejernih
air. Ia menggunakan pakaian berwarna biru tua berhiaskan kilauan batu-batu
kecil di sekeliling lehernya. Ia memandangku lekat-lekat sembari memberikan
senyuman khas yang sama sekali aneh terlihat olehku. Dan saat aku sedang
memandangnya, terdengar lolongan serigala yang sangat nyaring di telingaku.
Kucari-cari sumber bunyi itu dan ternyata bunyi itu berasal tak jauh dariku
saat ini. Serigala itu berkali-kali mengeluarkan suara lolongannya dengan
nyaring dan membuat suasana malam saat itu semakin mencekam. Setelah wanita di
depanku itu menepuk-nepuk pelan pundakku, tangisanku pun berhenti seketika dan
tergantikan dengan sebuah suara tawa pria dewasa yang mengenakan celana
berwarna hitam legam, baju hitam bermodelkan turtle neck dan mengenakan jubah hitam dengan lengan
dilinting seperempat. Ia berjalan pelan ke arahku sembari tersenyum dan
berkata, "akhirnya, dunia menantikan kelahiran putri kita sang penerus keluarga Amedeo!”.
Kita beri dia nama, Angela.
Aku terus saja berlari kencang, tak tahu arah yang aku tuju. Aku kerahkan
segala kemampuanku untuk berlari dan terus berlari. Semuanya seperti gelap di
depanku, tapi aku yakin bahwa aku bisa menembus dinginnya angin malam. Di
kejauhan sebuah sinar biru terang menyilaukan membuatku untuk mengurangi
kecepatanku berlari. Tapi sinar itu semakin waktu semakin terang dan mendekat
ke arahku berada. Kuhentikan langkah lariku, nafasku yang memburu tak bisa
dihentikan dengan sekejap. Rasanya jantung ini terasa mau copot. Kaki-kakiku
lemas tak berdaya seperti sudah tidak tahan lagi untuk menopang badanku sendiri
yang tergolong tidak terlalu besar ini. Tinggiku 164 dengan berat badanku yang
hanya 52 kilogram saja, tetapi tetap saja kakiku tak bisa lagi menahan badanku
yang sudah lemas ini. Aku hanya bisa melihat setitik kecil sinar biru tepat di
depanku, bergerak pelan melayang berputar dan akhirnya berangsur-angsur hilang.
"Angela..Angela!"
suara serak terdengar samar-samar di telinga kiriku. Aku sontak terbangun saat
sebuah sensasi hangat menyentuh pipiku yang dingin.
"Andrea?"
mataku memicing meyakinkan pandangku yang masih buram.
Angela meraih kedua tangan Andrea sembari memandang wajah pria
yang berambut coklat pirang dan bersyalkan kotak berwarna abu-abu itu.
Bayangan sosok Andrea membalas senyuman manis Angela terasa berputar
dengan cepatnya.
“Dimana aku?” Tanya Angela melihat sekeliling.
“Dimana aku?” Tanya Angela melihat sekeliling.
“Kau terdampar di Pulau tak berpenghuni tepat dimana
kita bersembunyi sekarang dari kejaran Seitz”. Jawab Andrea sembari
membersihkan wajah Angela yang dipenuhi pasir pantai berwarna bening kemerahan.
“Kau tahu Andrea, rasanya aku seperti bermimpi. Kemarin aku
seperti masih berada dii rumah dengan Ayah dan Ibu, tapi sekarang aku
terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni!” ujar Angela yang tak kuasa menahan
tangis.
“Sudahlah Angela, ini bukan saatnya kita meratapi kemalangan kita.
Tapi tugas kita sekarang adalah menemukan batu Holian. Kita harus lebih dulu
menemukan batu itu sebelum Seitz lebih dulu mengambil dan menggunakannya untuk
menguasai kota kita!” geram Andrea.
Dibantu oleh Andrea, Angela berdiri dengan langkahnya yang
tergopoh-gopoh setelah semalam ia terkena serangan yang hampir mematikan dari
sebuah monster berbentuk hiu dengan kulitnya yang bersisik seperti buaya.
Satu persatu langkah kaki Angela yang merasakan butir-butir pasir
pantai mengiringnya berjalan bersama Andrea. Kesunyian pantai sama sekali
tidak menghalangi Angela untuk terus melangkahkan kakinya. Terlihat sebuah
cahaya putih yang menyambut kedatangan mereka berdua. Terdengar suara dembur
ombak yang lambat-laun meredam suara dengungan sangkakala di negri Amedesta dikejauhan
sana, tanda bahwa telah terjadi perang di negeri tersebut. Angela hanya
berjalan dan terus berjalan sembari merasakan sakitnya kaki yang
dipijakkan satu demi satu, hingga ombak pantai mengalahkan suara
sangkakala dikejauhan sana dan sayup-sayup membuatku teringat dengan peristiwa
yang membawaku dalam perjalanan yang cukup melelahkan ini.
5 minggu berlalu. Andrea melanjutkan perjalanan sendiri
menuju negeri Amedesta. Sedangkan aku dipaksa olehnya untuk tidak
melanjutkan perjalanan itu bersamanya. Aku berjalan perlahan dengan nafas yang
tidak teratur. Salju yang turun sedikit demi sedikit membuat badanku semakin
membeku. Aku tidak tahu akan berjalan kemana. Aku hanya mengikuti instingku
saja untuk terus dan terus berjalan di keheningan malam.
Salju yang turun semakin tebal, membuat kaki-kakiku yang
terbungkus sepatu bot berbulu terbenam di dalam salju hingga sulit untuk
melangkah. Jaket abu-abuku yang terhitung tebal juga sudah tidak bisa
menghangatkan badanku. Dinginnya salju bercampur angin yang berhembus kencang
serasa seperti menusuk-nusuk tulangku. Sesekali aku berhenti di sebuah bangunan
tua yang sepi dan mencoba menghangatkan kedua tanganku dengan cara
menggosok-gosok kedua telapak tanganku menggunakan sapu tangan handuk berwarna
kuning pemberian kakek Sam sembari membersihkan butiran-butiran salju kuning
mengkilap yang melekat di kerah jaket buluku.
"Angela...Angela!" teriak kakek di teras depan rumah
sembari membawa secangkir teh manis hangat yang masih mengepul.
To be continued
Next story : Seribu Peta Negeri Amedeo | Part 2
To be continued
Next story : Seribu Peta Negeri Amedeo | Part 2
2 Comments
Lanaaaa..buat terus ya..lagi lagi..
ReplyDeleteI'm your silent reader hahaaa..
Hehehe...jadi rada ge-er saya 😁
DeleteSiappppp...ini Sedang dalam Proses nulis part ke-2nya.
Semoga cepet kelar.
Hi there, thanks so much for taking the time to comment.
If you have a question, I will respond as soon as I can.
Dont be afraid to shoot me an email! If you have a blog, I will pop on by :)